Minggu, 13 Januari 2013

FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN



FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN PENERAPANNYA DALAM PEMBELAJARAN


Makalah Dibuat dalam Rangka Melengkapi Tugas-Tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Dr. Marsigit M.A., Tahun 2012/2013
 

Oleh :

Widha Nur Shanti, S.Pd.Si.
NIM  12709251018
Program Studi Pendidikan Matematika (PM. A)
PPs UNY


BAB 1 
PENDAHULUAN
            Filsafat kontruktivisme dewasa ini mempunyai pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Dengan berlandaskan pada teori ini, model pembelajaran sangat berbeda dengan model pembelajaran klasik. Dalam pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta didik dapat menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk meyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus aktif mengembangkan pengetahuan, tidak hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru. Aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
            Penerapannya dalam proses pembelajaran, aliran konstruktivisme memberikan keleluasaan kepada siswa untuk aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki, memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa pengetahuan tidak bersifat obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu berkembang tergantung pada persepsi subjektif individu dan individu yang berpengetahuan menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi berdasarkan pengalaman dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna jika mampu digunakan untuk memecahkan suatu permasalahan.

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Sekitar tahun 1985 orang jarang mendengar kata konstruktivisme (Davis, Maher dan Nodding, 1990). Istilah konstruktivisme dikenal mengacu pada teori perkembangan struktur kognitif dari Piaget (English dan Halford, 1995: 11). Dalam perkembangannya konstruktivisme memiliki arti bermacam-macam. Berikut ini disajikan beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang dikemukakan oleh filsof, psikolog, dan pendidik.
Konstruktivisme yang dikenal dari kerja Piaget yang menyatakan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman mereka sendiri (Nik Pa dalam English dan Halford, 1995: 11). Menurut Giambattista Voco (1710), pengetahuan seseorang merupakan hasil konstruksi individu, melalui interaksi dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Konstrukivisme menurut von Glasersfeld (von Glasersfeld, 1984) adalah pengetahuan secara aktif diterima orang melalui indera atau melalui komunikasi atau pengalaman. Orang menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas berbasis pengalaman dan interaksinya dengan lingkungannya. Fosnot (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) menyatakan konsep bahwa siswa membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme.
Nodding (1990:7) menyatakan konstruktivisme dapat dikarakteristikkan sebagai posisi kognitif dan perspektif metodologis. Slavin (2000: 256) menyatakan konstruktivisme memandang siswa secara konstan memeriksa informasi baru terhadap aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan bila mereka bekerja dalam waktu relatif singkat. Menurut Doolitle dan Camp (1999) inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan intra-psikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi (dalam diri individu). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan.
Berdasar beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang di kemukakan Piaget, Nik Pa, Giambattista Voco, von Glasersfeld, Fosnot, Nodding, Slavin, Doolitlle dan Camp, dan Vygotsky tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka secara individu maupun melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang berkembang terus-menerus Dan dalam proses itulah keaktifan dan kesungguhan seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berbicara tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan pengalaman, baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental. Cara belajar berfilsafat juga tidak bisa secara instan. Kita bisa berfilsafat dengan menggunakan pikiran kita yang disertai dengan pengetahuan-pengetahuan dan pengalaman-pengalaman kita. Salah satu cara yang paling mudah untuk kita mendapatkan pengetahuan sebagai modal kita dalam berfilsafat adalah membaca.
Berkenaan dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme. Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008). Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang melebihi gagasan Vico.
Doolittle dan Camp (1999) memandang konstruktivisme tidak sebagai satu kesatuan (unitary), tetapi memandang sebagai rangkaian (continuum) teoritis. Dengan memandang konstruktivisme sebagai rangkaian teoritis ini, Doolitte dan Camp mengklasifikasikan pengertian konstruktivisme ke dalam:
1.      Konstruktivisme Kognitif
Dari sudut pandang konstruktivisme kognitif, pengetahuan merupakan hasil internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal (Doolittle dan Camp, 1999). Hasil dari proses internalisasi ini adalah struktur-struktur dan proses-proses kognitif yang secara akurat berkaitan dengan struktur-struktur dan proses-proses yang terdapat di dunia nyata. Proses internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal adalah belajar, yakni belajar adalah proses membangun model-model dan representasi-representasi internal yang merupakan cerminan atau refleksi dari struktur-struktur eksternal yang ada dalam dunia nyata.


2.      Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme radikal tergolong konstruktivisme individu sebagaimana konstruktivisme Piaget. Konstruktivisme radikal bukan suatu teori pengembangan atau teori pembelajaran, tetapi suatu model pengetahuan yang dapat digunakan oleh para ahli teori pengembangan pembelajaran untuk mengembangkan suatu model pembelajaran (Steffe, 1996). Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.
3.      Konstruktivisme Sosial
Konstruktivisme sosial meyakini bahwa pengetahuan merupakan hasil dari interaksi sosial dan pemakaian bahasa, jadi merupakan pengalaman yang dihasilkan dari kesepakatan melalui tukar pendapat dalam interaksi sosial, dan bukan pengalaman yang hanya dihasilkan secara individu.
Berkaitan dengan pembelajaran, konstruktivisme kognitif dipandang sebagai bentuk konstruktivisme “lemah”. Istilah “lemah” di sini bukan didasarkan pada pertimbangan nilai, misalnya lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya suatu indikasi keterkaitannya dengan asumsi-asumsi dasar epistemologi konstruktivisme. Konstruktivisme kognitif memandang konstruksi pengetahuan sebagai suatu proses yang bersifat teknis dalam menciptakan struktur-struktur mental, dan kurang memperhatikan aspek pengetahuan subyektif yang ada dalam benak siswa secara individu.
Konstruktivisme radikal dan konstruktivisme sosial keduanya dipandang sebagai bentuk konstruktivisme yang lebih “kuat”. Konstruktivisme radikal memperhatikan konstruksi struktur mental dan makna secara individu dengan menginterpretasi dan mengkonstruksi pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini konstruksi radikal dipadang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding konstruktivisme kognitif yang hanya memperhatikan konstruksi struktur mental (Doolittle dan Camp, 1999). Dalam konstruktivisme sosial lebih memperhatikan interaksi sosial dari pada konstruksi pengetahuan secara individu; penekannya pada konstruksi makna dalam suatu kegiatan interaksi sosial.
Penulis berpendapat dimungkinkan mengembangkan pembelajaran matematika beracuan konstruktivisme yang pada prinsipnya mengacu konstruktivisme yang menekankan pada aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan secara individu berdasar pengalaman siswa sendiri tetapi didalamnya juga memuat kegiatan pembelajaran yang melibatkan interaksi sosial untuk mendukung proses konstruksi pengetahuan matematika yang dilakukan secara individu tersebut.
B.     Hakekat Pembelajaran Menurut Aliran Filsafat Konstruktivisme
            Menurut kaum konstruktivis, belajar merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog, pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut antara lain bercirikan sebagai berikut:
1.      Belajar berarti membentuk makna. Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2.      Konstruksi arti adalah proses yang terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru, diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3.      Belajar bukanlah kegiatan mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4.      Proses belajar yang sebenarnya terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang baik untuk memacu belajar.
5.      Hasil belajar dipengaruhi oleh pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
6.      Hasil belajar seseorang tergantung pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Sehingga bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa, memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan, meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan, mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
C.    Pengaruh Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan
Sebenarnya prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah :
1.      Pengetahuan dibangun oleh peserta didik secara aktif.
2.      Tekanan dalam proses belajar terletak pada peserta didik.
3.      Mengajar adalah membantu peserta didik belajar.
4.      Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses, bukan hasil.
5.      Kurikulum menekankan partisipasi peserta didik.
6.      Guru adalah fasilitator.
Berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik, lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternatif. Dalam hal seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan dan mengatasinya.
D.    Implementasi Filsafat Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Filsafat konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar konstruktivistik. Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat pembandingan dengan teori belajar yang lain, yang memang sangat bertolak belakang. Teori belajar pembandingnya adalah teori behavioristik. Teori ini dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang dipaparkan di sini. Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik, merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus dan respon (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahwa perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered. Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta didik dijadikan kebanggaan institusi dengan nilai-nilai yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com).
Model pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan paham behavioristik. Secara sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J. Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru) dan terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan (Suparno: 2008). Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya (Hamzah, http://akhmadsudrajat. wordpress.com). Yang terpenting dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta didiklah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas hasilnya. Belajar diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses, menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id). Dengan melihat perbedaan keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih jelas untuk dipahami.
Menurut pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah non-objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari pengalaman konkret, aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi. Peserta didik memiliki pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan belajar: tidak teratur, semrawut,  peserta didik bebas, kebebasan dipandang sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang peserta didik. 4) Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan peserta didik. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses (Gasong, http://www.images.dani7bd. multiply.com).
Berkaitan dengan pembelajaran matematika, pembelajaran matematika beracuan kontruktivisme adalah pembelajaran yang melibatkan siswa aktif belajar memahami dan membangun pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam proses membangun pengetahuan matematika, siswa berinteraksi dengan lingkungan dan dihadapkan dengan informasi baru, informasi baru tersebut oleh kognisi siswa diserap melalui adaptasi. Sehingga aturan-aturan lama dapat dimodifikasi atau siswa membentuk aturan-aturan baru dalam benaknya.
Dari beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model belajar ini adalam menciptakan peserta didik yang selalu terdorong mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.

E.     Kelebihan dan Kekekurangan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Kelebihan pendekatan konstruktivisme antara lain:
1.        Guru bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah peseta didik yang aktif mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Mereka membandingkan pengalaman kognitif mereka dengan persepsi kognitif mereka tentang sesuatu. Jadi guru dalam pembelajaran konstruktivisme hanya fasilitator, bukan model atau sumber utama yang bertugas untuk mentransfer ilmu pada siswa.
2.        Pembelajar lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar terhadap sesuatu, pembelajar dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya sehingga tercipta konsep yang sesuai dengan yang diharapkan.
3.        Pembelajaran menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti mengkonstruksi informasi dalam struktur pengertian lamanya. Jadi dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme, pembelajar mendapatkan ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan gurunya, tetapi juga dengan mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan informasi baru yang mereka dapat. Sesuatu yang didapat dengan proses pencarian secara mandiri akan menimbulkan makna yang mendalam terhadap ilmu baru itu.
4.        Pembelajar memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar dapat dengan bebas mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya, sehingga tercipta konsep yang diinginkan.
5.        Perbedaan individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme adalah proses belajar mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan sangat jelas.
6.        Membina sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi ilmu barunya, sehingga mereka akan produktif menciptakan konsep baru tentang sesuatu untuk diri mereka sendiri. Rasa percaya diri juga dipupuk dalam filsafat ini dengan memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk menggunakan pengalaman mereka sendiri untuk melahirkan konsep baru yang nantinya akan mereka aplikasikan untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari mereka.
7.        Proses evaluasi difokuskan pada penilaian proses. Filsafat konstruktivisme menuntun pembelajar untuk mengkonstruksi ilmu barunya dengan merefleksi pada pengalaman sebelumnya untuk membuat konsep baru. Dalam praktek pengajaran, penyelesaian materi dan hasil bukanlah merupakan hal terpenting. Yang lebih penting adalah proses pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid. Belajar adalah kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan.
8.        Berfikir proses membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan membuat keputusan.
9.        Faham, karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka akan lebih faham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.
10.    Ingat :karena murid terlibat secara langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
11.    Kemahiran sosial :Kemahiran sosial diperoleh apabila berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan baru.
Disisi lain pendekatan konstruktivisme juga memiliki kelemahan diantaranya adalah:
1.       Kemauan dan kemampuan belajar yang lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses konstruksi menjadi terhambat, karena dalam filsafat konstruktifisme yang berperan aktif dalam pembelajaran adalah pembelajar.
2.       Terkadang pembelajar tidak memiliki ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi pemahamannya terhadap sesuatu, itu bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya mengerti sesuatu.
3.       Pembelajaran kelas dapat lama, bila ada beberapa siswa yang kurang cepat berpikir.
4.       Gerak kelas dapat sangat berlainan bila siswanya beraneka inteligensi.
5.       Pengaturan kelas kadang lebih sulit.
6.       Pendekatan konstruktivisme memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran yang lain, membutuhkan kelengkapan sarana/prasarana dan media penunjang pembelajaran serta menuntut adanya ketrampilan dan kecakapan lebih dari guru dalam mengelola kelas yang dikembangkan dengan pendekatan model pembelajaran konstruktivisme.
BAB III
KESIMPULAN
Secara sederhana dapat disimpulkan, filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia menkonstruksi pengetahuan mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai.
Prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika, namun demikian sekarang prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan ke dalam semua mata pelajaran. Dan berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya serta mewujudkan secara nyata dalam pembelajaran.
Namun tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran konstruktivistik ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat dan didukung oleh institusi pendidikan yang berwawasan luas, Institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat pebelajar dengan menyiapkan sarana-prasarana, lingkungan, SDM dan elemen pendukung lainnya. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
DAFTAR PUSTAKA
Davis, R.B. 1990. Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the Teaching and Learning of Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research in Mathematics Educations. Monograph Number 4. (halaman 93 – 106). The National Council of Teacher of Mathematics.
Doolittle, P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism: The Career and Technical Education Perspective. Kirk Swortsel (Ed.): Journal of Vocational and Technical Education. Volume 16, Number 1.
English, L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.
Gasong, Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran Konstruktivistik Sebagai Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.images.dani7bd. multiply.com.
Hamzah, 2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Herdisaksul. 2008. Beberapa Pandangan dalam Filsafat. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.slideshare. net/herdisaksul/aliran-filsafat.
Lela. 2009. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Filosofi Konstruktivistik. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://lela68.wordpress.com/2009/05/22/tugas-5-konstruktivisme/.
Markus Basuki. 2010. Filsafat Konstruktivisme. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://cor amorem.blogspot.com/ 2010/01/filsafat-konstruktivisme.html.
Pranata, Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru Pembelajaran Desain. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari  http://www.puslit.petra.ac.id.
Slavin, R.E. 2000. Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn & Bacon.Wadsworth (1989)
Steffe, L. P. Eds., (1996), Theories of Mathematics. Aukulad: Penguin Books.
Suparno, Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Von. Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die Erfundene Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line paper, html.
Wicaksono, Rohadi. 2007. Mengapa Harus Konstruktivistik. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari  http://www. rohadieducation.wordpress.com.

















Tidak ada komentar:

Posting Komentar