FILSAFAT KONSTRUKTIVISME DAN PENERAPANNYA
DALAM PEMBELAJARAN
Makalah
Dibuat dalam Rangka Melengkapi Tugas-Tugas Perkuliahan Filsafat Ilmu dari Dr.
Marsigit M.A., Tahun 2012/2013
Oleh
:
Widha Nur Shanti,
S.Pd.Si.
NIM 12709251018
Program Studi
Pendidikan Matematika (PM. A)
PPs UNY
BAB 1
PENDAHULUAN
Filsafat kontruktivisme dewasa ini mempunyai
pengaruh besar dalam dunia pendidikan. Dengan berlandaskan pada teori ini,
model pembelajaran sangat berbeda dengan model pembelajaran klasik. Dalam
pendidikan, aliran konstruktivisme menghendaki agar peserta didik dapat
menggunakan kemampuannya secara konstruktif untuk meyesuaikan diri dengan
tuntutan perkembangan ilmu dan teknologi. Peserta didik harus aktif
mengembangkan pengetahuan, tidak hanya menunggu arahan dan petunjuk dari guru.
Aliran ini mengutamakan peran siswa dalam berinisiatif.
Penerapannya dalam proses
pembelajaran, aliran konstruktivisme memberikan keleluasaan kepada siswa untuk
aktif membangun kebermaknaan sesuai dengan pemahaman yang telah mereka miliki,
memerlukan serangkaian kesadaran akan makna bahwa pengetahuan tidak bersifat
obyektif atau stabil, tetapi bersifat temporer atau selalu berkembang
tergantung pada persepsi subjektif individu dan individu yang berpengetahuan
menginterpretasikan serta mengkonstruksi suatu realisasi berdasarkan pengalaman
dan interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan berguna jika mampu digunakan
untuk memecahkan suatu permasalahan.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Filsafat Konstruktivisme
Sekitar
tahun 1985 orang jarang mendengar kata konstruktivisme (Davis, Maher dan
Nodding, 1990). Istilah konstruktivisme dikenal mengacu pada teori perkembangan
struktur kognitif dari Piaget (English dan Halford, 1995: 11). Dalam
perkembangannya konstruktivisme memiliki arti bermacam-macam. Berikut ini
disajikan beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang dikemukakan
oleh filsof, psikolog, dan pendidik.
Konstruktivisme
yang dikenal dari kerja Piaget yang
menyatakan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang
ke orang lainnya, melainkan harus dikonstruksi oleh setiap orang berdasar
pengalaman mereka sendiri (Nik Pa dalam English dan Halford, 1995: 11). Menurut
Giambattista Voco (1710), pengetahuan
seseorang merupakan hasil konstruksi individu, melalui interaksi dengan objek,
fenomena, pengalaman dan lingkungannya. Konstrukivisme menurut von Glasersfeld (von Glasersfeld, 1984)
adalah pengetahuan secara aktif diterima orang melalui indera atau melalui
komunikasi atau pengalaman. Orang menginterpretasi dan mengkonstruksi realitas
berbasis pengalaman dan interaksinya dengan lingkungannya. Fosnot (dalam Doolittle dan Camp, 1999: 5) menyatakan konsep bahwa
siswa membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme.
Nodding
(1990:7) menyatakan konstruktivisme dapat dikarakteristikkan sebagai posisi
kognitif dan perspektif metodologis. Slavin
(2000: 256) menyatakan konstruktivisme memandang siswa secara konstan memeriksa
informasi baru terhadap aturan-aturan lama dan merevisi aturan-aturan bila
mereka bekerja dalam waktu relatif singkat. Menurut Doolitle dan Camp (1999)
inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan membangun pengetahuan
sendiri berdasar pengalamannya. Konstruktivisme menurut pandangan Vygotsky menekankan pada pengaruh
budaya. Vygotsky berpendapat fungsi mental yang lebih tinggi bergerak antara
inter-psikologi (interpsychological) melalui interaksi sosial dan
intra-psikologi (intrapsychological) dalam benaknya. Internalisasi dipandang
sebagai transformasi dari kegiatan eksternal ke internal. Ini terjadi pada
individu bergerak antara inter-psikologi (antar orang) dan intra-psikologi
(dalam diri individu). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu
dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan.
Berdasar
beberapa pendapat tentang pengertian konstruktivisme yang di kemukakan Piaget, Nik Pa, Giambattista Voco, von Glasersfeld, Fosnot, Nodding, Slavin,
Doolitlle dan Camp, dan Vygotsky tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang memiliki anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri. Manusia
menkonstruksi pengetahuan mereka secara individu maupun melalui interaksi
mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan lingkungan mereka. Suatu
pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat berguna untuk menghadapi
dan memecahkan persoalan yang sesuai (Suparno, 2008:28). Menurut paham
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat ditransfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lain, tetapi harus diinterpretasikan sendiri oleh tiap-tiap orang.
Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi tetapi merupakan suatu proses yang
berkembang terus-menerus Dan dalam proses itulah keaktifan dan kesungguhan
seseorang dalam mengejar ilmu akan sangat berperan.
Berbicara
tentang konstruktivisme tidak dapat lepas dari peran Piaget. J. Piaget adalah
psikolog pertama yang menggunakan filsafat konstruktivisme dalam proses
belajar. Menurut Wadsworth (1989) dalam Suparno (2008), teori perkembangan
intelektual Piaget dipengaruhi oleh keahliannya dalam bidang biologi. Teori
pengetahuan Piaget adalah teori adaptasi kognitif. Seperti setiap organisme
selalu beradaptasi dengan lingkungannya untuk dapat mempertahankan dan
memperkembangkan hidup, demikian juga struktur pemikiran manusia. Berhadapan
dengan pengalaman, tantangan, gejala dan skema pengetahuan yang telah dipunyai
seseorang ditantang untuk menanggapinya. Dan dalam menanggapi
pengalaman-pengalaman baru itu skema pengalaman seseorang dapat terbentuk lebih
rinci, dapat pula berubah total. Bagi Piaget, pengetahuan selalu memerlukan
pengalaman, baik pengalaman fisik maupun pengalaman mental. Cara belajar
berfilsafat juga tidak bisa secara instan. Kita bisa berfilsafat dengan
menggunakan pikiran kita yang disertai dengan pengetahuan-pengetahuan dan
pengalaman-pengalaman kita. Salah satu cara yang paling mudah untuk kita
mendapatkan pengetahuan sebagai modal kita dalam berfilsafat adalah membaca.
Berkenaan
dengan asal-usul konstruktivisme, menurut Von Glasersfeld (1988) dalam Paul
Suparno (2008), pengertian konstruktif kognitif muncul pada abad ini dalam
tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan disebarkan oleh Jean
Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme sudah dimulai oleh
Gimbatissta Vico, epistemology dari Italia. Dialah cikal bakal konstruktivisme.
Pada tahun 1970, Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan
filsafatnya dengan berkata, “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia
adalah tuan dari ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti
‘mengetahui bagaimana membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan
pada struktur konsep yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang
menyatakan bahwa pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar. Namun
menurut banyak pengamat, Vico tidak membuktikan teorinya (Suparno: 2008).
Sekian lama gagasannya tidak dikenal orang dan seakan hilang. Kemudian Jean
Piagetlah yang mencoba meneruskan estafet gagasan konstruktivisme, terutama
dalam proses belajar. Gagasan Piaget ini lebih cepat tersebar dan berkembang
melebihi gagasan Vico.
Doolittle
dan Camp (1999) memandang konstruktivisme tidak sebagai satu kesatuan
(unitary), tetapi memandang sebagai rangkaian (continuum) teoritis. Dengan
memandang konstruktivisme sebagai rangkaian teoritis ini, Doolitte dan Camp
mengklasifikasikan pengertian konstruktivisme ke dalam:
1.
Konstruktivisme Kognitif
Dari sudut pandang konstruktivisme kognitif, pengetahuan
merupakan hasil internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal
(Doolittle dan Camp, 1999). Hasil dari proses internalisasi ini adalah
struktur-struktur dan proses-proses kognitif yang secara akurat berkaitan
dengan struktur-struktur dan proses-proses yang terdapat di dunia nyata. Proses
internalisasi dan rekonstruksi dari realitas eksternal adalah belajar, yakni
belajar adalah proses membangun model-model dan representasi-representasi internal
yang merupakan cerminan atau refleksi dari struktur-struktur eksternal yang ada
dalam dunia nyata.
2.
Konstruktivisme Radikal
Konstruktivisme
radikal tergolong konstruktivisme individu sebagaimana konstruktivisme Piaget.
Konstruktivisme radikal bukan suatu teori pengembangan atau teori pembelajaran,
tetapi suatu model pengetahuan yang dapat digunakan oleh para ahli teori
pengembangan pembelajaran untuk mengembangkan suatu model pembelajaran (Steffe,
1996). Pembelajaran beracuan konstruktivisme radikal memfokuskan pada siswa
secara individu mengkonstruksi pengetahuan berdasar pengalaman siswa sendiri.
3.
Konstruktivisme Sosial
Konstruktivisme sosial meyakini bahwa pengetahuan merupakan
hasil dari interaksi sosial dan pemakaian bahasa, jadi merupakan pengalaman
yang dihasilkan dari kesepakatan melalui tukar pendapat dalam interaksi sosial,
dan bukan pengalaman yang hanya dihasilkan secara individu.
Berkaitan
dengan pembelajaran, konstruktivisme kognitif dipandang sebagai bentuk
konstruktivisme “lemah”. Istilah “lemah” di sini bukan didasarkan pada
pertimbangan nilai, misalnya lebih baik atau lebih buruk, tetapi hanya suatu
indikasi keterkaitannya dengan asumsi-asumsi dasar epistemologi
konstruktivisme. Konstruktivisme kognitif memandang konstruksi pengetahuan
sebagai suatu proses yang bersifat teknis dalam menciptakan struktur-struktur
mental, dan kurang memperhatikan aspek pengetahuan subyektif yang ada dalam
benak siswa secara individu.
Konstruktivisme
radikal dan konstruktivisme sosial keduanya dipandang sebagai bentuk
konstruktivisme yang lebih “kuat”. Konstruktivisme radikal memperhatikan
konstruksi struktur mental dan makna secara individu dengan menginterpretasi
dan mengkonstruksi pengalaman berinteraksi dengan lingkungan. Dalam hal ini
konstruksi radikal dipadang memiliki derajat yang lebih tinggi dibanding
konstruktivisme kognitif yang hanya memperhatikan konstruksi struktur mental
(Doolittle dan Camp, 1999). Dalam konstruktivisme sosial lebih memperhatikan
interaksi sosial dari pada konstruksi pengetahuan secara individu; penekannya
pada konstruksi makna dalam suatu kegiatan interaksi sosial.
Penulis
berpendapat dimungkinkan mengembangkan pembelajaran matematika beracuan
konstruktivisme yang pada prinsipnya mengacu konstruktivisme yang menekankan pada
aktivitas siswa mengkonstruksi pengetahuan secara individu berdasar pengalaman
siswa sendiri tetapi didalamnya juga memuat kegiatan pembelajaran yang
melibatkan interaksi sosial untuk mendukung proses konstruksi pengetahuan
matematika yang dilakukan secara individu tersebut.
B.
Hakekat Pembelajaran Menurut Aliran
Filsafat Konstruktivisme
Menurut kaum konstruktivis, belajar
merupakan proses aktif pelajar mengkonstruksikan arti sebuah teks, dialog,
pengalaman fisis, dan lain-lain. Belajar juga merupakan proses mengasimilasikan
dan menghubungkan pengalaman atau bahan yang dipelajari dengan pengertian yang
sudah dipunyai seseorang sehingga pengertiannya dikembangkan. Proses tersebut
antara lain bercirikan sebagai berikut:
1. Belajar berarti membentuk makna.
Makna diciptakan oleh siswa dari apa yang mereka lihat, dengar, rasakan dan
alami. Konstruksi arti itu dipengaruhi oleh pengertian yang telah ia punyai.
2. Konstruksi arti adalah proses yang
terus menerus. Setiap kali berhadapan dengan fenomena atau persoalan yang baru,
diadakan rekonstruksi, baik secara kuat maupun lemah.
3. Belajar bukanlah kegiatan
mengumpulan fakta, melainkan lebih suatu pengembangan pemikiran dengan membuat
pengertian yang baru. Belajar bukanlah hasil perkembangan, melainkan merupakan
perkembangan itu sendiri (Fosnot, 1996), suatu perkembangan yang menuntut
penemuan dan pengaturan kembali pemikiran seseorang.
4. Proses belajar yang sebenarnya
terjadi pada waktu skema seseorang dalam keraguan yang merangsang pemikiran
lebih lanjut situasi ketidakseimbangan (disequilibrium) adalah situasi yang
baik untuk memacu belajar.
5. Hasil belajar dipengaruhi oleh
pengalaman pelajar dengan dunia fisik dan lingkungan.
6. Hasil belajar seseorang tergantung
pada apa yang telah diketahui pelajar konsep-konsep, tujuan, dan motivasi yang
mempengaruhi interaksi dengan bahan yang dipelajari (Paul Suparno 2001:61).
Sehingga
bisa dikatakan bahwa belajar adalah lebih merupakan suatu proses untuk
menemukan sesuatu, daripada suatu proses untuk mengumpulkan sesuatu. Belajar
bukanlah suatu kegiatan mengumpulkan fakta-fakta, tetapi suatu perkembangan
pemikiran yang berkembang dengan membuat kerangka pengertian yang baru. Siswa
harus punya pengalaman dengan membuat hipotese, predikti, mengetes hipotesa,
memanipulasi objek, memecahkan persoalan, mencari jawaban, menggambarkan,
meneliti, berdialog, mengadakan refleksi, mengungkapkan pertanyaan,
mengekspresikan gagasan, dan lain-lain untuk membentuk konstruksi yang baru.
C.
Pengaruh Filsafat Konstruktivisme
dalam Pendidikan
Sebenarnya
prinsip-prinsip konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains
dan matematika. Secara umum prinsip-prinsip itu berperan sebagai referensi dan
alat refleksi kritis terhadap praktek, pembaruan dan perencanaan pendidikan
sains dan matematika. Prinsip-prinsip yang diambil dari konstruktivisme adalah
:
1. Pengetahuan dibangun oleh peserta
didik secara aktif.
2. Tekanan dalam proses belajar terletak
pada peserta didik.
3. Mengajar adalah membantu peserta
didik belajar.
4. Tekanan dalam proses belajar lebih
pada proses, bukan hasil.
5. Kurikulum menekankan partisipasi
peserta didik.
6. Guru adalah fasilitator.
Berkaitan
dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia
yang memberikan kewenangan kepada sekolah dan para guru untuk menyusun sendiri
kurikulum pembelajaran yang akan dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme
tentu dapat menjadi roh dari setiap silabus yang disusunnya. Hal yang tetap
harus diperhatikan adalah kesiapan lingkungan belajar, baik pendidik,
lingkungan, sarana prasarana dan pendukung lainnya. Jika hal-hal tersebut tidak
dipersiapkan dengan baik, bisa jadi terjadi hal-hal yang melenceng dari
harapan. Karena peserta didik mengkonstruksi pengetahuannya sendiri, tidak
jarang bahwa hasil konstruksinya tidak sesuai dengan hasil konstruksi para
ilmuwan, maka muncullah salah pengertian atau konsep alternatif. Dalam hal
seperti ini diperlukan penelusuran dan penelitian untuk menemukan permasalahan
dan mengatasinya.
D.
Implementasi Filsafat Konstruktivisme
dalam Pembelajaran
Filsafat
konstruktivisme memberikan landasan bagi lahirnya teori belajar
konstruktivistik. Untuk memahami teori belajar ini ada baiknya dibuat
pembandingan dengan teori belajar yang lain, yang memang sangat bertolak
belakang. Teori belajar pembandingnya adalah teori behavioristik. Teori ini
dipilih karena akan memperjelas konsep konstruktivistik yang dipaparkan di
sini. Belajar, menurut Thorndike, seorang penganut paham behavioristik,
merupakan peristiwa terbentuknya asosiasi-sosiasi antara peristiwa-peristiwa
yang disebut stimulus (S) dengan respon (R) yang diberikan atas stimulus
tersebut. Jadi terjadinya belajar adalah pembentukan asosiasi antara stimulus
dan respon (Gasong, http://www.images.dani7bd.multiply.com). Kaum behavioristik meyakini bahwa
perilaku merupakan kumpulan reflek yang diakibatkan proses conditioning. Reflek berulang-ulang akan menjadi kebiasaan. Dan
perilaku akibat pembiasaan ini disebut belajar. Proses belajar bagi kaum
behavioristik berlangsung tanpa mempertimbangkan potensi dan kemauan serta
kesadaran peserta didik. Maka model pembelajaran bersifat teacher centered.
Tujuan pembelajaran ditentukan oleh institusi dan peserta didik tinggal
mengikutinya. Implikasinya: materi pelajaran ditentukan pengajar, pengajar
aktif menerangkan dan peserta didik hanya pasif menerima hingga saatnya
evaluasi. Bisa dikatakan pengajar menjadi satu-satunya sumber belajar. Motivasi
belajar hanya dirangsang dengan nilai. Akibatnya tujuan belajar berbelok hanya
sekedar sederetan angka. Tak jarang peserta didik dijadikan kebanggaan
institusi dengan nilai-nilai yang tinggi, baik lewat ujian nasional maupun
lomba-lomba. Akibatnya segala potensi, kemauan dan waktu peserta didik terserap
hanya demi nilai (Wicaksono, http://www.rohadieducation.wordpress.com).
Model
pembelajaran Konstruktivistik adalah alternatif yang mampu menjawabi kekurangan
paham behavioristik. Secara sederhana, konstruktivisme, yang dipelopori oleh J.
Piaget, beranggapan bahwa pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari kita
yang mengenal sesuatu. Seseorang yang belajar itu berarti membentuk
pengertian/pengetahuan secara aktif (tidak hanya menerima dari guru) dan
terus-menerus. Metode trial and error, dialog dan partisipasi peserta didik
sangat berarti sebagai suatu proses pembentukan pengetahuan dalam pendidikan
(Suparno: 2008). Menurut teori belajar konstruktivisme pengetahuan tidak bisa
dipindahkan begitu saja dari guru kepada murid. Artinya, peserta didik harus
aktif secara mental membangun struktur pengetahannya berdasarkan kematangan
kognitif yang dimilikinya (Hamzah, http://akhmadsudrajat. wordpress.com). Yang terpenting
dalam teori konstruktivisme adalah bahwa dalam proses pembelajaran, peserta
didiklah yang harus mendapatkan penekanan. Mereka harus aktif mengembangkan
pengetahuannya, mereka pula yang harus bertanggungjawab atas hasilnya. Belajar
diarahkan pada experimental learning, yaitu adaptasi kemanusiaan berdasar
pengalaman konkret di laboratorium, diskusi dengan teman sekelas, dan kemudian
dijadikan ide dan pengembangan konsep baru. Beberapa hal perlu mendapat
perhatian: mengutamakan pembelajaran yang nyata dan relevan, mengutamakan proses,
menanamkan pembelajaran dalam konteks pengalaman sosial dan dilakukan dalam
upaya mengkonstruksi pengalaman (Pranata, http://puslit.petra.ac.id). Dengan
melihat perbedaan keduanya, konsep pembelajaran konstruktivistik akan lebih
jelas untuk dipahami.
Menurut
pandangan konstruktivistik belajar dan pembelajaran memiliki ciri : 1) Tujuan
pembelajaran ditekankan pada belajar bagaimana belajar. 2) Pengetahuan adalah
non-objective, selalu berubah. Belajar adalah penyusunan pengetahuan dari
pengalaman konkret, aktivitas kolaborative, refleksi serta interpretasi.
Peserta didik memiliki pemahaman tergantung pengalaman dan perspektif
interpretasinya sehingga hasilnya individualistic. 3) Penataan lingkungan
belajar: tidak teratur, semrawut, peserta didik bebas, kebebasan dipandang
sebagai penentu keberhasilan dan control belajar dipegang peserta didik. 4)
Dalam strategi pembelajaran, lebih diarahkan untuk meladeni pandangan peserta
didik. Aktivitas belajar lebih didasarkan pada data primer. Pembelajaran menekankan
proses. 5) Evaluasi menekankan pada penyusunan makna, menggali munculnya
berpikir dengan pemecahan ganda. Dan evaluasi merupakan bagian utuh dari
pembelajaran, dan menekankan pada ketrampilan proses (Gasong, http://www.images.dani7bd. multiply.com).
Berkaitan
dengan pembelajaran matematika, pembelajaran matematika beracuan kontruktivisme
adalah pembelajaran yang melibatkan siswa aktif belajar memahami dan membangun
pengetahuan matematika berdasar pengalaman siswa sendiri. Dalam proses membangun
pengetahuan matematika, siswa berinteraksi dengan lingkungan dan dihadapkan
dengan informasi baru, informasi baru tersebut oleh kognisi siswa diserap
melalui adaptasi. Sehingga aturan-aturan lama dapat dimodifikasi atau siswa
membentuk aturan-aturan baru dalam benaknya.
Dari
beberapa uraian di atas dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran yang mengacu
pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada keberhasilan peserta
didik dalam mengorganisasikan pengalaman mereka. Guru menjadi fasilitator yang
membantu peserta didik mengkonstruksi sendiri pengetahuan mereka melalui
asimilasi dan akomodasi. Namun tetap harus diperhatikan bahwa model
pembelajaran ini harus didukung oleh lingkungan yang tepat. Tujuan model
belajar ini adalam menciptakan peserta didik yang selalu terdorong
mengembangkan diri melalui belajar. Untuk mendorong munculnya mentalitas
demikian, institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat
pebelajar. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model konstruktivistik
akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan manusia pebelajar.
E.
Kelebihan
dan Kekekurangan Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Kelebihan pendekatan
konstruktivisme antara lain:
1.
Guru
bukan satu-satunya sumber belajar. Peserta didik menurut konstruktivisme adalah
peseta didik yang aktif mengkonstruksi pengetahuan yang dia dapat. Mereka
membandingkan pengalaman kognitif mereka dengan persepsi kognitif mereka
tentang sesuatu. Jadi guru dalam pembelajaran konstruktivisme hanya
fasilitator, bukan model atau sumber utama yang bertugas untuk mentransfer ilmu
pada siswa.
2.
Pembelajar
lebih aktif dan kreatif. Sebagai akibat konstruksi mandiri pembelajar terhadap
sesuatu, pembelajar dituntut aktif dan kreatif untuk mengaitkan ilmu baru yang
mereka dapat dengan pengalaman mereka sebelumnya sehingga tercipta konsep yang
sesuai dengan yang diharapkan.
3.
Pembelajaran
menjadi lebih bermakna. Belajar bermakna berarti mengkonstruksi informasi dalam
struktur pengertian lamanya. Jadi dapat dijabarkan bahwa dalam konstruktivisme,
pembelajar mendapatkan ilmunya tidak hanya dengan mendengarkan penjelasan
gurunya, tetapi juga dengan mengaitkan pengalaman pribadi mereka dengan
informasi baru yang mereka dapat. Sesuatu yang didapat dengan proses pencarian
secara mandiri akan menimbulkan makna yang mendalam terhadap ilmu baru itu.
4.
Pembelajar
memiliki kebebasan belajar. Kebebasan disini berarti bahwa pembelajar dapat
dengan bebas mengkonstruksi ilmu baru itu sesuai pengalamannya sebelumnya,
sehingga tercipta konsep yang diinginkan.
5.
Perbedaan
individual terukur dan dihargai. Karena proses belajar sesuai konstruktivisme
adalah proses belajar mandiri, maka potensi individu akan terukur dengan sangat
jelas.
6.
Membina
sikap produktif dan percaya diri. Pembelajar diharapkan selalu mengkonstruksi
ilmu barunya, sehingga mereka akan produktif menciptakan konsep baru tentang
sesuatu untuk diri mereka sendiri. Rasa percaya diri juga dipupuk dalam
filsafat ini dengan memberikan kesempatan bagi pembelajar untuk menggunakan
pengalaman mereka sendiri untuk melahirkan konsep baru yang nantinya akan
mereka aplikasikan untuk mengatasi permasalahan dalam kehidupan sehari-hari
mereka.
7.
Proses
evaluasi difokuskan pada penilaian proses. Filsafat konstruktivisme menuntun
pembelajar untuk mengkonstruksi ilmu barunya dengan merefleksi pada pengalaman
sebelumnya untuk membuat konsep baru. Dalam praktek pengajaran, penyelesaian
materi dan hasil bukanlah merupakan hal terpenting. Yang lebih penting adalah
proses pembelajaran yang lebih menekankan partisipasi murid. Belajar adalah
kegiatan murid untuk membentuk pengetahuan.
8.
Berfikir proses
membina pengetahuan baru, murid berfikir untuk menyelesaikan masalah, dan
membuat keputusan.
9.
Faham,
karena murid terlibat secara langsung dalam mebina pengetahuan baru, mereka
akan lebih faham dan boleh mengaplikasikannya dalam semua situasi.
10. Ingat :karena murid terlibat secara
langsung dengan aktif, mereka akan ingat lebih lama semua konsep. Yakin Murid
melalui pendekatan ini membina sendiri kefahaman mereka. Justru mereka lebih
yakin menghadapi dan menyelesaikan masalah dalam situasi baru.
11. Kemahiran sosial :Kemahiran sosial
diperoleh apabila berinteraksi dengan teman dan guru dalam membina pengetahuan
baru.
Disisi
lain pendekatan konstruktivisme juga memiliki kelemahan diantaranya adalah:
1. Kemauan dan kemampuan belajar yang
lemah dari pembelajar akan mengakibatkan proses konstruksi menjadi terhambat,
karena dalam filsafat konstruktifisme yang berperan aktif dalam pembelajaran
adalah pembelajar.
2. Terkadang pembelajar tidak memiliki
ketekunan dan keuletan dalam mengkonstruksi pemahamannya terhadap sesuatu, itu
bisa saja menjadi kendala dalam prosesnya mengerti sesuatu.
3. Pembelajaran kelas dapat lama, bila
ada beberapa siswa yang kurang cepat berpikir.
4. Gerak kelas dapat sangat berlainan
bila siswanya beraneka inteligensi.
5. Pengaturan kelas kadang lebih sulit.
6. Pendekatan konstruktivisme
memerlukan alokasi waktu yang lebih panjang dibandingkan dengan pendekatan pembelajaran
yang lain, membutuhkan kelengkapan sarana/prasarana dan media penunjang
pembelajaran serta menuntut adanya ketrampilan dan kecakapan lebih dari guru
dalam mengelola kelas yang dikembangkan dengan pendekatan model pembelajaran
konstruktivisme.
BAB III
KESIMPULAN
Secara
sederhana dapat disimpulkan, filsafat konstruktivisme beranggapan bahwa
pengetahuan adalah hasil konstruksi manusia. Manusia menkonstruksi pengetahuan
mereka melalui interaksi mereka dengan objek, fenomena, pengalaman dan
lingkungan mereka. Suatu pengetahuan dianggap benar bila pengetahuan itu dapat
berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang sesuai.
Prinsip-prinsip
konstruktivisme telah banyak digunakan dalam pendidikan sains dan matematika,
namun demikian sekarang prinsip-prinsip tersebut dapat diterapkan ke dalam
semua mata pelajaran. Dan berkaitan dengan diberlakukannya Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan (KTSP) di Indonesia yang memberikan kewenangan kepada sekolah
dan para guru untuk menyusun sendiri kurikulum pembelajaran yang akan
dijalankan, prinsip-prinsip konstruktivisme tentu dapat menjadi roh dari setiap
silabus yang disusunnya serta mewujudkan secara nyata dalam pembelajaran.
Namun
tetap harus diperhatikan bahwa model pembelajaran konstruktivistik ini harus
didukung oleh lingkungan yang tepat dan didukung oleh institusi pendidikan yang
berwawasan luas, Institusi pendidikan harus ikut menciptakan situasi masyarakat
pebelajar dengan menyiapkan sarana-prasarana, lingkungan, SDM dan elemen
pendukung lainnya. Semua elemen didorong menjadi manusia pebelajar. Model
konstruktivistik akan mencapai hasil optimal jika diterapkan dalam lingkungan
manusia pebelajar.
DAFTAR PUSTAKA
Davis,
R.B. 1990. Discovery Learning and Constructivism. Constructivist View on the
Teaching and Learning of Mathematics. Nel Noddings (Eds.): Journal for Research
in Mathematics Educations. Monograph Number 4. (halaman 93 – 106). The National
Council of Teacher of Mathematics.
Doolittle,
P.E dan Camp, W.G. 1999. Constructivism: The Career and Technical Education
Perspective. Kirk Swortsel (Ed.): Journal of Vocational and Technical
Education. Volume 16, Number 1.
English,
L.D dan Halford, G.S. 1995. Mathematics
Educations Model and Process. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates
Publishers.
Gasong,
Dina. Tanpa tahun. Model Pembelajaran
Konstruktivistik Sebagai Alternative Mengatasi Masalah Pembelajaran. Diakses
pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.images.dani7bd.
multiply.com.
Hamzah,
2008. Teori Belajar Konstruktivisme. Diakses
pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://akhmadsudrajat.wordpress.com
Herdisaksul.
2008. Beberapa Pandangan dalam Filsafat.
Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://www.slideshare. net/herdisaksul/aliran-filsafat.
Lela. 2009. Pembelajaran Matematika Berdasarkan Filosofi
Konstruktivistik. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://lela68.wordpress.com/2009/05/22/tugas-5-konstruktivisme/.
Markus Basuki. 2010. Filsafat Konstruktivisme.
Diakses pada tanggal 20 Desember 2012 dari http://cor amorem.blogspot.com/ 2010/01/filsafat-konstruktivisme.html.
Pranata,
Y. Mulyadi. Konstruktivistik: Arah Baru
Pembelajaran Desain. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012
dari http://www.puslit.petra.ac.id.
Slavin, R.E. 2000.
Educational Psychology: Theory and Practice. Boston: Allyn &
Bacon.Wadsworth (1989)
Steffe, L. P. Eds., (1996), Theories of Mathematics. Aukulad: Penguin Books.
Suparno,
Paul. 2008. Filsafat Konstruktivisme
Dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Von.
Glassersfeld, E. 1984. An Introduction to
Radical Constructivism. Author’s translation in P. Watzwalick (Ed), The Invented
Reality. Newyork: Norton, 1984. Originally published P. Watzlawick (Ed), Die
Erfundene Wirklichkeit. Munich: Piper, 1981. Erns von Glasersfeld, on line
paper, html.
Wicaksono,
Rohadi. 2007. Mengapa Harus
Konstruktivistik. Diakses pada tanggal 20 Desember 2012
dari http://www.
rohadieducation.wordpress.com.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar