Sabtu, 01 Desember 2012

REFLEKSI PERKULIAHAN FILSAFAT ILMU (Senin, 26 November 2012)


SEKILAS ANALISIS TENTANG HAKEKAT BERPIKIR IMANUEL KANT
Human reason atau sama dengan pikiran manusia  itu akan menimbulkan pertanyaan yang tidak bisa dihindari, ini karena hakekatnya, tetapi tidak bisa dijawab karena setiap aspek daripada berpikir itu menurunkan atau diturunkan. Pikiran manusia itu sulit dimengerti tanpa melakukan salah tafsir. Artinya kebanyakan orang itu melakukan banyak kesalahan dalam menterjemahkan proses berpikir. Pikiran itu berangkat dari prinsip, prinsip itu adalah kategori, kategori itu adalah intuisi. Ada dua prinsip berpikir, yaitu identitas dan kontradiksi.
Di atas prinsipel seseorang itu berpikir pikiran, sedangkan di bawah ia  berpikir pengalaman. Yg di atas rasionalism yg bawah empiricism. Pengambilan keputusan ada dua, yaitu analitik dan sintetik. Analitik itu Subjek sama dengan Predikat, sedangkan sintetik itu subjek  tidak sama dengan predikat. Analitik itu berarti identitas, sintetik berarti kontradiksi. Pada setiap pengambilan keputusan ada dua pengambilan keputusan, yaitu analitik dan sintetik. Analitik itu berdasarkan konsistensi koherensi, dan sintetik berdasarkan pengalaman atau intuisi empiris. Kalau analitik merupakan pure intuisi/intuisi murni. Yang namanya analitik itu A sama dengan B (subjek =  predikat), predikat B itu masuk ke dalam A, atau predikat B terletak atau masuk penuh ke dalam A. predikat B merupakan bagian dari A, itu artinya sintetik. Memnbaca dengan tidak mengerti itu namanya mitos, sedangkan membaca dengan mengerti itu namanya logos. Bisa berbicara tetapi tidak mengerti itu namanya mitos.
Sebagai contoh, Semua benda itu berkembang, ini dikatakan sebagai analitik. Ini sama halnya kalau anda mengatakan “una” adalah “inu”. “Una” tidak bisa memahami “inu” dan sebaliknya “inu” tidak bisa memahami “una”, yang seperti ini namanya analitik. Misalnya semua benda punya berat. Kita bisa memaknai bahwa makna berat itu berbeda dengan makna benda. Tambah unsur lagi yang namannya a priori. Semua alasan memenuhi prinsip a priori, tetapi memperoleh prinsip a priori itu ternyata pengalaman yang disebut dengan sintetical judgement. Sintetikal judgement maksudnya adalah memperolehnya a priori, atau prinsip di dalam semua teori berpikir. Oleh karena itu mathematical judgement harusnya sintetik, berarti sudah berbeda dengan mathematic yang dipikirkan oleh pure mathematic. Kesimpulannya nanti bahwa matematika itu sintetik a priori.
Sebagai contoh, 7+5 = 12 itu sintetik. Karena 7+5 tidak sama dengan 12. Ini berarti 7+5 nya  Imanuel Kant itu beda dengan 7+5 nya pure mathematician. 7+5 nya pure mathematician itu bebas ruang dan waktu. Ternyata 7+5 nya Imanuel Kant itu terikat oleh ruang dan waktu, yang disebut sintetik. Jadi 7+5 itu berbeda dengan 12. Kita tidak bisa membuktikan bahwa 7+5=12. Itulah yang dimaksud dengan sintetik.
Terdapat logika orang awam, logika formal, logika material, logika normative, logika spiritual. Imanuel Kant membuat logika Transenden, yaitu logikanya para dewa. Isinya adalah kategori, yang diperoleh dari intuisi. Kategori di dalam logika trensenden ialah kita bisa membedakan singular, particular, universal itu masuk pada kategori quantity. Kita bisa membedakan infinit negatif atau afirmatif itu kategori quality. Kategori relasi disjungtif, hipotetical, categorical, modality, problematika, asetorika, apodiktik. Semua problem berpikir termasuk di sini. Jadi categorical sendiri masuk di dalam kelompok relasi.
Konsep berpikir itu adalah sebagai kategori.  Ada judgement, unity, plurality, totality, reality, kemudian kalau dicari hubungannya modality dan possibility itu merupakan impossibility, neceserity itu adalah kontingensi. Kalau dikaitkan antara pikiran dengan pengalamannya. Kontingensi itu pengalaman, pengalaman itu bersifat kontingen, yang bersifat unpredictable. Kalau analitik metodenya deduksi. Analitik dengan deduksi itu cocok/ chemistry, bahasa itu chemistry. Deduksi di sini bersifat transenden, deduksinya para dewa. Ada deduksi yang bersifat empiris. Sebenarnya tidak ditemukan deduksi yang bersifat empiris dalam hakekat orang yang berpikir.
Pengalaman itu bersifat naik kemudian digunakan untuk berpikir, dan ada kategori terlebih dahulu, termasuk bisa membedakan. Pengalaman itu bersifat manipul, kaitannya dengan ruang berurutan, berkelanjutan dan berkesatuan, dan digabung menjadi manipul, itulah membentuk pengalaman, Imanual Kant menyebutnya sebagai manipul. Apersepsi itu bersifat sintetik. Perlu di ingat di pengalaman ada intuisi, di berpikir ada intuisi. Jadi tidak bisa berpikir tanpa intuisi. Yang mendahului berpikir itu adalah intuisi, jadi dalam mengajar kita tidak boleh merampas intuisi siswa. Intuisi ada kaitanya dengan kesadaran. Maka letakkanlah kesadaran anda di depan hakekat kalau anda ingin memahami suatu hakekat. Dalam mengajar di kelas terdapat apersepsi. Apersepsi dalam pembelajaran maksudnya kesiapan siswa. Kesatuan apersepsi itu disebut sebagai kesatuan transendental dari kesadaran diri. Kesadaran diri ini penting untuk bisa berpikir a priori. Supaya bisa berpikir maka harus sadar dulu. Apersepsi yang membentuk kesadaran tadi adalah prinsip yang tertinggi dari kesadaran brpikir. Ruang dan waktu adalah intuisi. Ruang dan waktu jika di isi dengan manipul kesatuan content, maka dia merupakan representasi tunggal tadi. Understanding adalah kemampuan kognisi. Tujuan dari apersepsi yaitu untuk melakukan kegiatan berpikir, supaya kita mampu berpikir.
Jika berpikir berhubungan dengan objek nyata maka maksudnya dapat dipahami dengan berbagai macam cara. Kita bisa memahami suatu objek dengan berbagai macam sudut pandang, itu kalimat filsafatnya. Jadi ada prinsipel, ada skema, ada sistem, ada aksioma, dalam pikiran kita. Jadi aksioma tidak hanya ada dalam matematika. Kategori bisa menjadi aksioma. Kita bisa membedakan itu adalah aksioma kita. ”Ada” hanya sebagai subjek, tidak mempuyai predikat. Itu adalah hakekat yang ada, yang belum berrelasi dengan sifatnya. Di dalam berpikir itu pasti ditemukan kontradiksi. Contohnya dunia itu bisa dikatakan mempunyai permulaan dan bisa dikatakan tidak mempunyai permulaan. Itu semua karena keterbatasan pikiran manusia.